Minggu, 06 Desember 2009

Prospek Ekonomi 2010

Data-data terbaru menunjukkan bahwa perekonomian dunia mulai bergerak menuju pemulihan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Sejak triwulan kedua 2009 sejumlah negara utama di berbagai belahan dunia sudah menunjukkan perbaikan berarti.

Tanda-tanda menggembirakan berlanjut pada triwulan ketiga. Euro zone secara keseluruhan sudah membukukan pertumbuhan positif, dengan Jerman dan Prancis sebagai penghela utamanya. Perekonomian Jepang juga mencatatkan pertumbuhan signifikan, yakni 4,8 persen (year on year).

Semua negara yang tergabung di dalam BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) mengalami strong rebound. Emerging markets Asia menjadi bintang pemulihan. Majalah Economist menjulukinya sebagai astonishing rebound. Indonesia termasuk di dalamnya, bersama-sama dengan China, Hongkong, Korea, dan Singapura.

Industrial production dan ekspor merupakan dua indikator yang memberikan pertanda kuat. Hampir semua negara pengekspor utama dunia telah beringsut dari titik terendah. Satu-dua bulan sebelumnya telah terjadi untuk industrial production.

Hanya perekonomian Amerika Serikat yang tampaknya masih digelayuti oleh ketakpastian tinggi. Sekalipun pertumbuhan pada triwulan ketiga sudah positif, namun lebih rendah dari perkiraan. Angka pengangguran terus naik manjadi dua dijit (10,2 persen) pada bulan Oktober. Indeks keyakinan konsumen melemah kembali pada bulan September dan Oktober, setelah membaik pada bulan Agustus. Bisa dipahami, mengingat Amerika Serikat adalah pusat gempa krisis financial global, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk masa rekonstruksi, terutama bagaimana menyedot kembali likuiditas yang melimpah dan mengelola utang yang menggunung.

Perkembangan terakhir perekonomian Indonesia juga cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga 2009 sudah kembali naik menjadi 4,2 persen, dari angka terendah 4,0 persen pada triwulan sebelumnya.

Laju inflasi diharapkan bertahan di bawah 4 persen hingga akhir tahun ini. Nilai tukar rupiah mulai stabil di kisaran Rp9.400 per dollar AS. Eskpor year on year sudah sejak Juni meningkat kembali, juga pertumbuhan produksi industri besar dan menengah. Penjualan sepeda motor, mobil, dan semen sudah menggeliat lebih awal.

Wisatawan mancanegara selama Januari-September 2009 bertambah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, walau hanya 1,07 persen. Perkembangan positif ini tak terlepas dari penyelenggaraan berbagai perhelatan internasional di tanah air di tengah pesta domokrasi yang panjang.

Kita pun memiliki modal dasar tambahan dengan terkereknya daya saing versi International Institute for Management Development dalam publikasi tahunan terbarunya, World Competitiveness Yearbook, 2009. Urutan Indonesia tiba-tiba melambung ke posisi 42 tahun ini, dari urutan 51 tahun lalu. Peningkatan ini memang bukan disebabkan oleh pembenahan mendasar di dalam negeri, melainkan lebih karena negara-negara lain banyak yang terkapar akibat krisis global. Momentum ini harus cepat dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan terhadap unsur-unsur utama penentu daya saing. Jika kita abai lagi, negara-negara yang terkapar tersebut akan segera pulih dan berpotensi mengejar kita kembali.

Apalagi mengingat pemulihan ekonomi dunia diperkirakan lebih cepat. Berdasarkan proyeksi terakhir International Monetary Fund (IMF) pertumbuhan ekonomi dunia akan naik tajam dari -1,1 persen tahun ini menjadi 3,1 persen tahun 2010.

Satu-satunya sektor yang sangat memprihatinkan ialah industri manufaktur. Sektor ini terus mengalami perlambatan hingga mencapai titik terendah pada triwulan ketiga, dengan pertumbuhan hanya 1,3 persen. Tantangan bagi sektor industri manufaktur terus menghadang hingga tahun depan. Deraan krisis listrik kian menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan implementasi free trade agreement (FTA) Asean-China yang nyaris penuh mulai 2010. Tanpa FTA ini saja kita sudah keteteran menghadapi penetrasi produk-produk manufaktur dari China. Neraca perdagangan kita dengan China berbalik dari surplus sebesar 1,1 miliar dollar AS tahun 2007 menjadi defisit sebesar 3,6 miliar dollar AS tahun 2008. Tahun ini, hingga Agustus, defisit perdagangan kita dengan China sudah mencapai 1,7 miliar dollar AS.

Industri baja merupakan salah satu yang paling terpukul. Beberapa industri lain juga sudah berteriak minta perlindungan sepatutnya.

Sektor pertanian dan pertambangan masih tumbuh lumayan, yakni masing-masing 3,4 persen dan 4,1 persen selama Januari-September 2009 dibandingkan dengan kurun waktu yang sama tahun 2008.

Namun, yang menjadi penopang utama tetap saja sektor jasa, utamanya jasa-jasa modern di kota besar. Bahkan, selama tiga triwulan terakhir, sektor pengangkutan & komunikasi serta sektor utilitas (listrik, gas, dan air bersih) tumbuh dua dijit, masing-masing 17,6 persen dan 13,9 persen. Sektor jasa lainnya yang tumbuh cukup tinggi adalah konstruksi. Satu-satunya sektor jasa yang tergopoh-gopoh ialah perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini mengalami kontraksi sebesar 0,2 persen. Namun, sektor yang terakhir ini diperkirakan bakal segera pulih menuju jalur normal kembali tahun depan.

Menimbang potensi modal dasar yang kita miliki serta tantangan dan ancaman yang menghadang, tampaknya prospek ekonomi dan bisnis tahun 2010 akan sedikit lebih baik ketimbang tahun 2009. Walaupun laju inflasi diperkirakan bakal lebih tinggi, namun belum akan membuat overheating. Inflasi diprediksi sekitar 4,5 persen sampai 5,5 persen, sehingga tak akan mendorong peningkatan suku bunga. Kuncinya adalah pengelolaan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang lebih efektif.

Nilai tukar rupiah rata-rata untuk tahu 2010 diperkirakan mengalami penguatan. Jika tahun ini rata-rata masih di atas Rp10.000 per dollar AS, maka tahun depan berpotensi menguat ke sekitar Rp9.250 sampai Rp9.500 per dollar AS. Ada tiga faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, sepanjang likuiditas yang melimpah di AS belum disedot kembali oleh The Fed, nilai US$ akan cenderung melemah. The Fed dalam waktu dekat tampaknya belum akan menaikkan suku bunga secara berarti karena akan mengancam pemulihan ekonomi. Sekalipun Menteri Keuangan AS sesumbar akan berupaya membuat dollar AS kuat, namun faktor-faktor obyektif tidak mengarah ke sana.

Kedua, dengan pasar domestik yang cukup besar, Indonesia semakin menarik bagi FDI. Beberapa sudah masuk, di antaranya tergolong baru, seperti Turki. Polandia pun mulai menunjukkan minat untuk masuk. Akan cukup banyak yang bakal menyusul. Sudah barang tentu ada prasyarat yang perlu terhadirkan. Yakni, perekonomian domestik harus terintegrasi.

Ketiga, Moody’s sudah meningkatkan rating Indonesia. Jika tak ada halangan mendasar, S&P’s pun diperkirakan bakal melakukan upgrade. Dengan begitu, institutional investors akan semakin tertarik masuk ke pasar modal kita.

Sektor-sektor yang diperkirakan bakal mengalami akselerasi pertumbuhan adalah perdagangan, hotel dan restoran serta industri manufaktur. Penyumbang peningkatan kelompok pertama adalah perdagangan, sedangkan kelompok kedua adalah industri otomotif, semen, dan makanan & minuman. Peningkatan bisa lebih tinggi seandainya persoalan listrik bisa cepat teratasi dan pembenahan logistik lebih cepat. Selama ini persoalan logistik sangat akut. Sedemikian mahalnya, terlihat dari pengeluaran logistik yang mencapai 30 persen PDB. Di China hanya 20 persen dan di Thailand hanya belasan persen.

Sektor transportasi & komunikasi serta sektor listrik, gas dan air bersih masih berpotensi tumbuh dua dijit. Sementara itu sektor jasa keuangan akan tumbuh sedikit lebih tinggi dari tahun 2009.

Bertolak dari gambaran tentang kecenderungan di atas, pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan berkisar antara 5,4 persen hingga 5,9 persen. Pertumbuhan di atas 6 persen tampaknya amat sulit. Kalau dipaksakan bisa menimbulkan pemanasan, sehingga mengganggu pertumbuhan yang berkelanjutan.

Ada dua hal yang perlu diwaspadai. Pertama, kemungkinan harga minyak menembus 100 dollar AS per barrel. Pemuihan ekonomi dunia yang pesat akan meningkatkan real demand terhadap minyak. Selanjutnya, harga-harga komoditas juga berpotensi naik, walau tak akan setinggi yang terjadi tahun 2008.

Kedua, walaupun rupiah cenderung menguat, volatilitasnya masih cukup tinggi, mengingat arus modal masuk masih didominasi oleh modal jangka pendek yang jumlahnya lebih besar daripada cadangan devisa.

Tentu saja prediksi di atas akan meleset jika persoalan-persoalan politik dan hukum terus menggelayuti agenda bangsa